Jika Sayang Saudaramu, Janganlah Kamu Malu Untuk Menagih Hutang
Dari Abu Qotaadah radhiallahu ‘anhu :
…فَقَامَ رَجُلٌ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللهِ، أَرَأَيْتَ إِنْ قُتِلْتُ فِي سَبِيلِ اللهِ، تُكَفَّرُ عَنِّي خَطَايَايَ؟ فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «نَعَمْ، إِنْ قُتِلْتَ فِي سَبِيلِ اللهِ، وَأَنْتَ صَابِرٌ مُحْتَسِبٌ، مُقْبِلٌ غَيْرُ مُدْبِرٍ»، ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «كَيْفَ قُلْتَ؟» قَالَ: أَرَأَيْتَ إِنْ قُتِلْتُ فِي سَبِيلِ اللهِ أَتُكَفَّرُ عَنِّي خَطَايَايَ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِوَسَلَّمَ: «نَعَمْ، وَأَنْتَ صَابِرٌ مُحْتَسِبٌ، مُقْبِلٌ غَيْرُ مُدْبِرٍ، إِلَّا الدَّيْنَ، فَإِنَّ جِبْرِيلَ عَلَيْهِ السَّلَامُ قَالَ لِي ذَلِكَ»
“…Lalu ada seorang lelaki berdiri dan berkata, “Wahai Rasulullah, bagaimana jika aku terbunuh di jalan Allah, apakah dosa-dosaku akan tertebuskan?”. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata, “Iya, jika engkau meninggal berjihad di jalan Allah dan engkau dalam kondisi bersabar dan berharap, maju dan tidak mundur”.
Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata, “Bagaimana yang kau katakan?”. Lelaki itu berkata, “Bagaimana, jika aku terbunuh di jalan Allah, apakah dosa-dosa tertebuskan?”. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata, “Iya, dan engkau dalam kondisi bersabar dan berharap, maju dan tidak mundur, Kecuali Hutang, sesungguhnya Jibril mengatakan hal itu kepadaku” (HR Muslim no 1885)
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda
الْقَتْلُ فِي سَبِيلِ اللهِ يُكَفِّرُ كُلَّ شَيْءٍ، إِلَّا الدَّيْنَ
“Terbunuh di jalan Allah menghapuskan seluruhnya kecuali hutang” (HR Muslim no 1886)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata :
وَأَمَّا قَوْلُهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَلَا الدَّيْنَ فَفِيهِ تَنْبِيهٌ عَلَى جَمِيعِ حُقُوقِ الْآدَمِيِّينَ وَأَنَّ الْجِهَادَ وَالشَّهَادَةَ وَغَيْرَهُمَامِنْ أَعْمَالِ الْبِرِّ لَا يُكَفِّرُ حُقُوقَ الْآدَمِيِّينَ وَإِنَّمَا يُكَفِّرُ حُقُوقَ اللَّهُ تَعَالَى
“Adapun sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam (Kecuali Hutang) maka sebagai peringatan atas seluruh hak-hak orang lain, dan bahwasanya jihad dan mati syahid serta amalan kebajikan yang lain tidaklah menebus hak-hak orang lain, hanyalah menebus hak-hak Allah ta’aala” (Al-Minhaaj Syarh Shahih Muslim 13/29)
Jika amalan yang sangat hebat seperti jihad ternyata tidak bisa menggugurkan dosa tidak membayar hutang, maka bagaimana lagi dengan amalan-amalan yang rendah dibawah jihad??
Dari Salamah bin al-Akwa’ radhiallahu ‘anh
أن النبي صلى الله عليه وسلم أتي بجنازة ليصلي عليها فقال هل عليه من دين قالوا لا فصلى عليه ثم أتي بجنازةأخرى فقال هل عليه من دين قالوا نعم قال صلوا على صاحبكم قال أبو قتادة علي دينه يا رسول الله فصلى عليه
“Bahwasanya Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam didatangkan kepada beliau jenazah, maka beliau berkata, “Apakah dia memiliki hutang?”. Mereka mengatakan, “Tidak”. Maka Nabipun menyolatkannya. Lalu didatangkan janazah yang lain, maka Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam berkata, “Apakah ia memiliki hutang?”, mereka mengatakan, “Iya”, Nabi berkata, “Sholatkanlah saudara kalian”. Abu Qotadah berkata, “Aku yang menanggung hutangnya wahai Rasulullah”. Maka Nabipun menyolatkannya” (HR Al-Bukhari no 2295)
Dalam riwayat yang lain :
فَجَعَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا لَقِيَ أَبَا قَتَادَةَ يَقُولُ مَا صَنَعَتِ الدِّينَارَانِ حَتَّى كَانَ آخِرَ ذَلِكَ أَنْ قَالَ قَدْقَضَيْتُهُمَا يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ الْآنَ حِينَ بَرَّدْتَ عَلَيْهِ جِلْدَهُ
“Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam setiap bertemu dengan Abu Qitaadah Nabi berkata kepadanya, “Bagaimana dengan dua dinar (yaitu yang menjadi tanggungan Abu Qotadah atas mayat)?”. Hingga akhirnya Abu Qotaadah berkata, “Aku telah membayarnya wahai Rasulullah!”. Nabi berkata, “Sekarang engkau telah mendinginkan kulitnya” (HR Al-Hakim, dan dishahihkan oleh beliau serta disepakati oleh Adz-Dzahabi, dan dihasankan oleh Syaikh Al-Albani)
Al-Hafiz Ibnu Hajar berkata :
وَفِي هَذَا الْحَدِيثِ إِشْعَارٌ بِصُعُوبَةِ أَمْرِ الدَّيْنِ وَأَنَّهُ لَا يَنْبَغِي تَحَمُّلُهُ إِلَّا مِنْ ضَرُورَةٍ
“Dan dalam hadits peringatan akan beratnya permasalan hutang, dan bahwasanya tidak sepantasnya seseorang berhutang kecuali dalam kondisi darurat” (Fathul Baari 4/468)
Hal ini mengingatkan kepada kita bahwa jangan pernah meremehkan amanah dan hutang. Berikut beberapa perkara yang mungkin perlu diperhatikan :
Pertama : Jangan pernah “pekewuh” (merasa tidak selesa) kepada orang yang hendak meminjam wang dari kita, untuk mencatat hutang tersebut. Kerana mencatat hutang adalah sunnah yg ditinggalkan. Padahal ayat yang terpanjang dalam al-Qur’an adalah tentang pencatatan hutang, Allah berfirman
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ وَلْيَكْتُبْ بَيْنَكُمْ كَاتِبٌ بِالْعَدْلِ وَلا يَأْبَ كَاتِبٌ أَنْ يَكْتُبَ كَمَاعَلَّمَهُ اللَّهُ فَلْيَكْتُبْ وَلْيُمْلِلِ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ وَلا يَبْخَسْ مِنْهُ شَيْئًا فَإِنْ كَانَ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ سَفِيهًا أَوْضَعِيفًا أَوْ لا يَسْتَطِيعُ أَنْ يُمِلَّ هُوَ فَلْيُمْلِلْ وَلِيُّهُ بِالْعَدْلِ وَاسْتَشْهِدُوا شَهِيدَيْنِ مِنْ رِجَالِكُمْ فَإِنْ لَمْ يَكُونَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌوَامْرَأَتَانِ مِمَّنْ تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَدَاءِ أَنْ تَضِلَّ إِحْدَاهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحْدَاهُمَا الأخْرَى وَلا يَأْبَ الشُّهَدَاءُ إِذَا مَا دُعُوا وَلاتَسْأَمُوا أَنْ تَكْتُبُوهُ صَغِيرًا أَوْ كَبِيرًا إِلَى أَجَلِهِ ذَلِكُمْ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ وَأَقْوَمُ لِلشَّهَادَةِ وَأَدْنَى أَلا تَرْتَابُوا إِلا أَنْ تَكُونَتِجَارَةً حَاضِرَةً تُدِيرُونَهَا بَيْنَكُمْ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَلا تَكْتُبُوهَا وَأَشْهِدُوا إِذَا تَبَايَعْتُمْ وَلا يُضَارَّ كَاتِبٌ وَلا شَهِيدٌ وَإِنْتَفْعَلُوا فَإِنَّهُ فُسُوقٌ بِكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَيُعَلِّمُكُمُ اللَّهُ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, maka
hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau Dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, Maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). jika tak ada dua oang lelaki, Maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa Maka yang seorang mengingatkannya. janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu’amalahmu itu), kecuali jika mu’amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, Maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. jika kamu lakukan (yang demikian), Maka Sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu” (QS Al-Baqoroh : 282)
Kedua : Dengan mencatat hutang piutang maka akan mendatangkan kemaslahatan.
Dengan mencatat piutang, apabila kita meninggal, piutang tersebut akan dimanfaatkan oleh ahli waris kita, sehingga dimasukkan dalam harta warisan
Dengan mencatat hutang, apabila kita meninggal maka ahli waris kita akan melunasi hutang kita dari harta peninggalan kita, atau ada kerabat, atau sahabat, atau orang lain yang mau berkorban melunasi hutang kita. Tentunya hal ini akan sangat mengurangi beban kita di akhirat
Ketiga : Jangan pernah malu untuk menagih hutang. Justru kalau kita sayang kepada orang yang berhutang maka hendaknya kita menagih hutang tersebut darinya. Karena kalau kita malu menagih hutang bisa menimbulkan kemudorotan bagi kita dan juga baginya, diantaranya :
ita jadi dongkol terus jika bertemu dengan dia, bahkan bisa jadi kita terus akan menggibahnya karena kedongkolan tersebut, padahal kita sendiri malu untuk menagih hutang tersebut.
Jika kita membiarkan dia berhutang hingga meninggal dunia maka ini tentu akan memberi kemudorotan kepadanya di akhirat kelak
Keempat : Ingatlah…, jika hutang tidak dibayar di dunia maka akan dibayar di akhirat dengan pahala, padahal pada hari tersebut setiap kita sangat butuh dengan pahala untuk memperberat timbangan kebaikan kita. Hari akhirat tidak ada dinar dan tidak ada dirham untuk membayar hutang kita !!
Kelima : Jangan pernah meremehkan hutang meskipun sedikit. Bisa jadi di mata kita hutang 100 ribu rupiah adalah jumlah yg sedikit, akan tetapi di mata penghutang adalah nominal yang berharga dan dia tidak ridho kepada kita jika tidak dibayar, lantas dia akan menuntut di hari kiamat.
Keenam : Jangan pernah berhusnudzon kepada penghutang. Jangan pernah berkata : “Saya tidak usah bayar hutang aja, dia tidak pernah menagih kok, mungkin dia sudah ikhlaskan hutangnya”
Ketujuh : Jika punya kemampuan untuk membayar hutang maka jangan pernah menunda-nunda. Sebagian kita tergiur untuk membeli barang-barang yang terkadang kurang diperlukan, sehingga akhirnya uang yang seharusnya untuk bayar hutang digunakan untuk membeli barang-barang tersebut, akhirnya hutang tidak jadi dibayar.
Kelapan : Jangan menunggu ditagih dulu baru membayar hutang, karena bisa jadi pemilik piutang malu untuk menagih, atau bisa jadi dia tidak menagih tapi mengeluhkanmu kepada Allah.
نَامَتْ عُيُوْنُكَ وَالْمَظْلُوْمُ مُنْتَبِهُ يَدْعُو عَلَيْكَ وَعَيْنُ اللهِ لَمْ تَنَم
“Kedua matamu tertidur sementara orang yang engkau dzolimi terjaga… Ia mendoakan kecelakaan untukmu, dan mata Allah tidaklah pernah tidur”
Kesembilan : Berhutang kepada orang lain –jika memang mendesak- bukanlah perkara yang tercela. Bukankah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam meninggal dalam kondisi memiliki hutang kepada seorang Yahudi karena menggadaikan baju perang beliau??
Dari Aisyah radhiallahu ‘anhaa
أن النبي صلى الله عليه وسلم اشترى من يهودي طعاما إلى أجل معلوم وارتهن منه درعا من حديد
“Bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam membeli makanan dari seorang yahudi dengan berhutang dan beliau menggadaikan baju perangnya dari besi” (HR Al-Bukhari no 2252 dan Muslim no 1603)
Akan tetapi perhatikanlah…, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidaklah berhutang kecuali dalam kondisi terdesak…untuk membeli makanan !!!., bukan untuk membeli perkara-perkara yang tidak mendesak !!.
Lalu lihatlah…Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidaklah berhutang kecuali karena memang beliau sudah tidak punya sesuatupun yang bisa digunakan untuk membeli makanan, hingga akhirnya yang digadaikan adalah baju perang beliau??.
Kesepuluh : Jika seseorang harus berhutang maka perbaiki niatnya, bahwasanya ia akan mengmbalikan hutangnya tersebut, agar ia dibantu oleh Allah.
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata ;
من أخذ أموال الناس يريد أداءها أدى الله عنه ومن أخذ يريد إتلافها أتلفه الله
“Barang siapa yang mengambil harta manusia/orang lain dengan niat untuk mengembalikannya maka Allah akan menunaikannya. Akan tetapi barangsiapa yang mengambil harta orang lain dengan niat untuk merusaknya maka semoga Allah merusaknya” (HR Al-Bukhari no 2387)
Kesebelas : Jika merasa tidak mampu membayar hutang dalam waktu dekat maka janganlah sampai ia berjanji dusta kepada penghutang. Sering kali hutang menyeret seseorang untuk mengucapkan janji-janji dusta, padahal dusta merupakan dosa yang sangat buruk
Kedua belas : Jika seseorang telah berusaha untuk membayar hutang namun ia tetap saja tidak mampu, maka semoga ia diampuni oleh Allah.
Al-Qurthubi rahimahullah berkata:
لكن هذا كله إذا امتنع من أداء الحقوق مع تمكنه منه، وأما إذا لم يجد للخروج من ذلك سبيلاً فالمرجو من كرمالله تعالى إذا صدق في قصده وصحت توبته أن يرضي عنه خصومه
“Akan tetapi hal ini (tidak ada ampunan bagi yang berhutang-pen) seluruhnya jika orang yang berhutang tidak mau menunaikan hak orang lain padahal ia mampu. Adapun orang yang tidak memiliki kemampuan untuk membayar hutang, maka diharapkan dari karunia dan kedermawanan Allah, jika ia jujur dalam tujuannya (untuk membayar hutang-pen) dan taubatnya telah benar maka Allah akan menjadikan musuhnya (yang memberikan piutang) akan ridho kepadanya” (Dalil Al-Faalihin 2/540)